Tuesday, January 8, 2013

Senang Itu...


Saat itu pukul 8:10 WIB. Saya memasuki sebuah kelas yang baru saja berisi beberapa orang mahasiswa. Karena isi kelas yang masih minim, maka setiap kali pintu kelas terbuka, semua mata pasti langsung tertuju pada arah penyebab suara. Saya menoleh ke arah dosen saya dan pak dosen pun mengizinkan saya masuk ke dalam kelas. Saya melihat salah seorang teman dekat saya dan segera menghampirinya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Baru mulai ya?" tanya saya dengan suara berbisik pada teman yang duduk di sebelah. Teman saya itu mengangguk dan kembali sibuk dengan alat tulis dan buku catatannya. Saya segera melepas jaket dan mengeluarkan alat tulis serta buku catatan. Tak lama, salah seorang mahasiswa maju ke depan dan memulai presentasi. Oh… Langsung presentasi individual, pikirku dalam hati.

"Apa sih senang itu?" tiba-tiba sang mahasiswa memulai presentasinya dengan sebuah pertanyaan. Saya berusaha menyimak dan tidak menyangka saat sang presentan tiba-tiba menunjuk saya dan menanyakan sebuah pertanyaan.

"Apa hal yang bisa membuat kamu senang?" tanyanya. Saya sempat terkejut dan diam selama beberapa detik. Diamnya saya bukan karena tidak tahu, melainkan karena kaget akan apa yang ia lakukan. Ia (dan mungkin seluruh isi kelas) menatap saya dan menunggu saya menjawab.

"Ng… Bisa lulus kuliah tepat waktu?" jawab saya dengan nada tidak yakin. Saya bisa melihat ia segaris senyum di bibirnya dan kemudian melanjutkan (masih dengan menatap saya).

"Lalu apa lagi?" tanyanya. Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Iapun menambahkan. "kira-kira apalagi yang bisa bikin kamu senang?"

"Ng… Kumpul sama temen-temen." jawab saya. Akhirnya ia selesai "menginterogasi" saya dan benar-benar memulai presentasinya. Saya memperhatikan presentasi yang ia bawakan selama 10 detik sebelum akhirnya berbisik pada teman di samping saya.

"Itu yang presentasi namanya siapa?" bisik saya. Teman saya menoleh dengan tatapan terkejut pada saya yang membuat saya (agak) malu.

"Kamu nggak kenal?" tanya teman saya. Dengan polosnya saya menggeleng. "Itu namanya Arby. Kalian kan udah sering sekelas. Masa nggak tau sih?"

*****

Sepanjang sisa kuliah itu, saya memperhatikan Arby dengan seksama. Bukan karena terpesona dengan wajah (yang menurut selera saya sih biasa aja), tapi lebih karena takjub. Berdasarkan pengamatan Feli, teman yang duduk di sebelah saya, saya dan Arby sudah tiga semester ini mengambil kelas bersama. Memang di fakultas kami, dalam satu kelas bisa sampai 40 orang mahasiswa, tapi saya tidak merasa familiar dengan wajahnya. Waktu awal ia bertanya pada saya, saya malahan mengira dia adalah mahasiswa yang lebih senior dari saya.

"Untuk tugas kelompok, daftar kelompoknya ada di koordinator kelas. Jangan lupa menyertakan jurnal yang kalian bahas di lampiran makalahnya." Ucap sang dosen sebelum akhirnya menutup kelas hari ini. Martha, koordinator kelas kami langsung berdiri dan mengambil alih kelas untuk membacakan daftar kelompok yang telah disusun oleh dosen kami.

"Kenapa sih nggak bikin kelompok sendiri?" gerutu saya pelan. Saya bisa merasakan Feli menoleh ke arah saya dan tersenyum. Tiba-tiba saya mendengar nama saya disebut bersama dengan anggota kelompok yang lain.

"Amanda Hanita, Arby Nurhadi, Dionysius Alvian, Desi Hardika." Ucap Martha yang membuat saya spontan meoleh pada sang presentan tadi, namun ia sedang membereskan laptop dan buku-bukunya di meja. "kalian membahas jurnal musik dan emosi ya?"

"Tuh, Man! Liat kan?" tiba-tiba Feli mencolek saya sambil tersenyum. "dosennya tau harus dibikinin kelompok. Biar mahasiswa yang udah satu setengah tahun sekelas bareng bisa kenalan dan kerja bareng."

"Apaan sih?" protes saya sambil menggendong tas punggung saya dan bersiap untuk keluar kelas, karena teman sekelompok saya yang lain hari ini tidak masuk. Namun ketika saya baru saja sampai di depan pintu kelas, seseorang memanggil nama saya yang tentu saja membuat saya menoleh.

"Manda!" panggil sang presentan, sekaligus juga teman sekelompok saya, Arby Nurhadi. "Kapan mau ngomongin soal jurnalnya?"

"Um… gw mau aja ngomongin sekarang. Tapi 10 menit lagi gw ada kelas." jawabku agak menyesal. Iapun terlihat agak kecewa mendengar jawabanku.

"Kalo gitu, minta nomer hapenya dong. Ntar gw kabarin deh kalo gw udah dapet jurnalnya." ucapnya sambil mengeluarkan handphone dan bersiap menyimpan nomor handphone saya. Sayapun membacakan nomor handphone saya padanya. Setelah bertukar nomor handphone, saya bersiap untuk pergi ke kelas selanjutnya.

"Nanti siang, setelah kelas, gw kabarin deh kalo mau ketemuan." ucapku sebelum pergi. Ia mengangguk sambil tersenyum, Entah tersenyum karena apa. "Gw duluan ya. Harus ke gedung sebelah."

"Lw tau nggak hal yang bikin gw seneng?" tanya Arby yang membuatku tidak jadi melangkah pergi dan berbalik lagi untuk menatapnya. Ia mengacungkan handphone-nya. "setelah tiga semester sekelas sama lw, akhirnya gw bisa dapet nomer hape dan juga satu kelompok sama lw."