Friday, February 15, 2013

Untuk Kamu, Yang aku Tunggu


Mata ini akan selalu bergerak kemanapun dirimu melangkah. Bibir ini akan selalu menyunggingkan senyum kapanpun kau ada disekitarku. Hati ini tak akan pernah berhenti mengkhawatirkan keadaanmu. Dan… pikiran ini akan selalu bertanya: “Apakah kau menyadari bahwa aku ada?

*======*

Di sana aku meninggalkan jejakku. Di tempat seharusnya kita bertemu. Aku hanya berharap kau menemukannya, sehingga kau tau bahwa aku pernah berada disana. Menunggumu. Aku tak tau apakah kau akan tiba disana sebelum jejak itu terhapus oleh waktu. Tapi yang aku tau, jejakmu tak kan pernah bisa kuhapus.

*======*

Aku di sini menunggumu. Kau di sana menunggunya. Tapi dia yang kau tunggu ternyata menungguku. Jadi… Kau menungguku? Pasti tidak jawabmu.

Lalu aku harus bagaimana? Haruskah aku tinggal dan menunggumu? Selamanya? Ataukah aku harus pergi agar kau menyadari bahwa aku ini berarti untukmu? Ya… Mungkin aku yang harus pergi. Pergi dengan harapan kau akan mencari dan merindukan.

Ya… Aku yang pergi. Berat rasanya hatiku melepaskan saat kebesamaan kita. Tapi aku lega. Karena saat aku meninggalkanmu, aku hanya perlu menitipkan senyumku. Bukan air mata. Dan saat aku yang meninggalkanmu, aku tidak harus melihat sosokmu berbalik dan pergi menjauh dariku.

Tuesday, January 8, 2013

Senang Itu...


Saat itu pukul 8:10 WIB. Saya memasuki sebuah kelas yang baru saja berisi beberapa orang mahasiswa. Karena isi kelas yang masih minim, maka setiap kali pintu kelas terbuka, semua mata pasti langsung tertuju pada arah penyebab suara. Saya menoleh ke arah dosen saya dan pak dosen pun mengizinkan saya masuk ke dalam kelas. Saya melihat salah seorang teman dekat saya dan segera menghampirinya dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Baru mulai ya?" tanya saya dengan suara berbisik pada teman yang duduk di sebelah. Teman saya itu mengangguk dan kembali sibuk dengan alat tulis dan buku catatannya. Saya segera melepas jaket dan mengeluarkan alat tulis serta buku catatan. Tak lama, salah seorang mahasiswa maju ke depan dan memulai presentasi. Oh… Langsung presentasi individual, pikirku dalam hati.

"Apa sih senang itu?" tiba-tiba sang mahasiswa memulai presentasinya dengan sebuah pertanyaan. Saya berusaha menyimak dan tidak menyangka saat sang presentan tiba-tiba menunjuk saya dan menanyakan sebuah pertanyaan.

"Apa hal yang bisa membuat kamu senang?" tanyanya. Saya sempat terkejut dan diam selama beberapa detik. Diamnya saya bukan karena tidak tahu, melainkan karena kaget akan apa yang ia lakukan. Ia (dan mungkin seluruh isi kelas) menatap saya dan menunggu saya menjawab.

"Ng… Bisa lulus kuliah tepat waktu?" jawab saya dengan nada tidak yakin. Saya bisa melihat ia segaris senyum di bibirnya dan kemudian melanjutkan (masih dengan menatap saya).

"Lalu apa lagi?" tanyanya. Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Iapun menambahkan. "kira-kira apalagi yang bisa bikin kamu senang?"

"Ng… Kumpul sama temen-temen." jawab saya. Akhirnya ia selesai "menginterogasi" saya dan benar-benar memulai presentasinya. Saya memperhatikan presentasi yang ia bawakan selama 10 detik sebelum akhirnya berbisik pada teman di samping saya.

"Itu yang presentasi namanya siapa?" bisik saya. Teman saya menoleh dengan tatapan terkejut pada saya yang membuat saya (agak) malu.

"Kamu nggak kenal?" tanya teman saya. Dengan polosnya saya menggeleng. "Itu namanya Arby. Kalian kan udah sering sekelas. Masa nggak tau sih?"

*****

Sepanjang sisa kuliah itu, saya memperhatikan Arby dengan seksama. Bukan karena terpesona dengan wajah (yang menurut selera saya sih biasa aja), tapi lebih karena takjub. Berdasarkan pengamatan Feli, teman yang duduk di sebelah saya, saya dan Arby sudah tiga semester ini mengambil kelas bersama. Memang di fakultas kami, dalam satu kelas bisa sampai 40 orang mahasiswa, tapi saya tidak merasa familiar dengan wajahnya. Waktu awal ia bertanya pada saya, saya malahan mengira dia adalah mahasiswa yang lebih senior dari saya.

"Untuk tugas kelompok, daftar kelompoknya ada di koordinator kelas. Jangan lupa menyertakan jurnal yang kalian bahas di lampiran makalahnya." Ucap sang dosen sebelum akhirnya menutup kelas hari ini. Martha, koordinator kelas kami langsung berdiri dan mengambil alih kelas untuk membacakan daftar kelompok yang telah disusun oleh dosen kami.

"Kenapa sih nggak bikin kelompok sendiri?" gerutu saya pelan. Saya bisa merasakan Feli menoleh ke arah saya dan tersenyum. Tiba-tiba saya mendengar nama saya disebut bersama dengan anggota kelompok yang lain.

"Amanda Hanita, Arby Nurhadi, Dionysius Alvian, Desi Hardika." Ucap Martha yang membuat saya spontan meoleh pada sang presentan tadi, namun ia sedang membereskan laptop dan buku-bukunya di meja. "kalian membahas jurnal musik dan emosi ya?"

"Tuh, Man! Liat kan?" tiba-tiba Feli mencolek saya sambil tersenyum. "dosennya tau harus dibikinin kelompok. Biar mahasiswa yang udah satu setengah tahun sekelas bareng bisa kenalan dan kerja bareng."

"Apaan sih?" protes saya sambil menggendong tas punggung saya dan bersiap untuk keluar kelas, karena teman sekelompok saya yang lain hari ini tidak masuk. Namun ketika saya baru saja sampai di depan pintu kelas, seseorang memanggil nama saya yang tentu saja membuat saya menoleh.

"Manda!" panggil sang presentan, sekaligus juga teman sekelompok saya, Arby Nurhadi. "Kapan mau ngomongin soal jurnalnya?"

"Um… gw mau aja ngomongin sekarang. Tapi 10 menit lagi gw ada kelas." jawabku agak menyesal. Iapun terlihat agak kecewa mendengar jawabanku.

"Kalo gitu, minta nomer hapenya dong. Ntar gw kabarin deh kalo gw udah dapet jurnalnya." ucapnya sambil mengeluarkan handphone dan bersiap menyimpan nomor handphone saya. Sayapun membacakan nomor handphone saya padanya. Setelah bertukar nomor handphone, saya bersiap untuk pergi ke kelas selanjutnya.

"Nanti siang, setelah kelas, gw kabarin deh kalo mau ketemuan." ucapku sebelum pergi. Ia mengangguk sambil tersenyum, Entah tersenyum karena apa. "Gw duluan ya. Harus ke gedung sebelah."

"Lw tau nggak hal yang bikin gw seneng?" tanya Arby yang membuatku tidak jadi melangkah pergi dan berbalik lagi untuk menatapnya. Ia mengacungkan handphone-nya. "setelah tiga semester sekelas sama lw, akhirnya gw bisa dapet nomer hape dan juga satu kelompok sama lw."

Monday, October 15, 2012

Gadis - Hujan (A New Beginning)


Gadis sebenarnya tidak menyukai hari ini. Udara terasa sangat panas dan tidak menyenangkan. Tapi sepertinya apa yang dirasakan oleh Gadis tidak dirasakan oleh orang lain. Banyak sekali orang berkumpul di taman untuk bermain dan bersenang-senang. Wajah mereka menyiratkan senyum, tawa dan kegembiraan. Hal yang tidak bisa Gadis rasakan saat ini, tapi ia ingin merasakan apa yang orang lain rasakan. Gadis menatap ke arah langit lalu memicingkan matanya saat melihat sinar matahari yang sangat terik.

Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Matahari, Gadis tidak begitu menyukainya. Bagi Gadis, Matahari itu tidak bisa dipercaya. Sampai dengan saat ini ia tidak mengerti mengapa semua orang, ya... semua orang di sekitar Gadis sangat menyukai Matahari. Matahari memang hangat, tapi kenapa ia harus hangat kepada semua orang? Tidak bisakah ia memberikan kehangatan itu hanya kepada orang-orang tertentu? Orang-orang yang mau menerima kehangatannya. Dan orang itu bukan Gadis.

Di tengah-tengah gerutu dan kemarahan Gadis, tiba-tiba muncul dua orang pria di tengah kerumunan yang menangkap perhatian Gadis. Dua orang pria yang sedang bercanda dan tertawa di tengah kerumunan orang-orang yang sedang menikmati sinar matahari. Pemandangan tersebut tentu saja semakin membuat Gadis heran. Mengapa bisa ada orang yang terlihat sangat bahagia saat Matahari bersinar sangat teriknya?

Gadis terus menatap dari kejauhan perilaku kedua pria tersebut. Tidak ada yang spesial dengan kedua pria itu. Hanya saja Gadis memang sedang membutuhkan pengalih perhatian dan kedua pria itu sangat merupakan pengalih yang tepat. Namun mata Gadis hanya tertuju pada satu arah. Pada pria di sebelah kanan.

Pria itu berpenampilan biasa saja bahkan cenderung tidak menarik. Dari tatapan matanya terlihat bahwa ia adalah orang yang dingin dan tidak bersahabat. Namun semakin Gadis berusaha melepaskan pandangan dari pria itu, semakin sulit Gadis berpaling.

Gadis terus memperhatikan pria di sebelah kanan, karena entah karena sihir apa, Gadis benar-benar tidak bisa melepaskan tatapannya dari pria itu. Sesaat mereka sempat bertukar pandangan dan sesuatu yang aneh terjadi. Perasaan dingin namun bersahabat merayap masuk ke dalam dada Gadis. Matahari masih berada diantara mereka, namun bagi Gadis hanya ada perasaan sejuk dan menenangkan. Dalam hatipun Gadis tahu, Matahari memang masih bersinar terang, namun hal itu tidak untuk waktu yang lama.

Tiba-tiba pria disebelah kiri berhenti dan membisikkan sesuatu pada pria di sebelah kanan yang membuat tatapan matanya beralih dari Gadis. Pria di sebelah kanan mengangguk dan memejamkan mata sebentar. Tiba-tiba saja sinar matahari meredup dan langit berubah kelam. Semua orang menatap ke perubahan langit dan berhenti bermain, tak terkecuali Gadis. Gadis menatap langit yang berubah menjadi kelabu.

Saat titik-titik hujan mulai membasahi bumi, semua orang segera berlari mencari perlindungan. Semua orang, kecuali Gadis. Gadis menengadahkan kepalanya ke langit. Awan kelabu telah menyelimuti langit. Gadis tersenyum dan merasakan tiap tetesan air hujan membasahi wajahnya.  Perasaan kesal dan marah Gadis seketika luntur seiring dengan mulai turunnya rintik-rintik hujan.

Pria di sebelah kanan: Sebaiknya kamu mencari tempat berteduh.
Gadis: (menggeleng) aku lebih suka di sini. Aku suka hujan.
Pria di sebelah kanan: tapi kamu bisa sakit kalo di sini.
Gadis: setelah sekian lama aku merindukan hujan, aku nggak mau melewatkan momen seperti ini. Aku ingin terus bersama dengan hujan.
Pria di sebelah kanan: kamu kenal dengan sang hujan?
Gadis: nggak. Tapi dia selalu menemaniku di saat-saat sedihku. Dan karena hujaaannnn....
Pria di sebelah kanan: karena hujan??
(seketika itu,hujan turun sangat lebatnya, membuat Gadis dan Pria itu basah kuyup dengan cepatnya).
Gadis: hujan membantuku menyembunyikan air mataku. Jadi nggak ada orang yang akan tahu kalau aku sedang menangis di bawah guyuran hujan.
Pria disebelah kanan: (menatap Gadis dengan heran) boleh aku tahu namamu?
Gadis: (tersenyum sambil menyeka wajahnya yang basah oleh air hujan) Namaku Gadis Hujan.

Friday, October 12, 2012

Sepenggal Kenangan di Masa SMA

* This poem belongs to my senior high school mate. Her name is Sheila. She made this poem just for fun, but I found this poem sooooo deep and meaningful. I used this poem on one of my unpublished short story :)

AKHIRNYA

Jika tak hendak jiwa ini bernyawa
Andai rapuh bibir ini bicara
dan bila beku hati ini 'tuk merasa
Mungkin tak 'kan begini akhirnya

Akhirnya semua ini ada untukku
Akhirnya kudapat merasakannya
Hal yang dulu sempat kupertanyakan
Tepian lirik cintaku t'lah membawaku
ke surga...

Izinkan aku berikrar satu saja
Aku tak 'kan mendusta
Aku suka rasa ini
Aku benci jika ini hilang

Aku ingin rasa ini selalu ada
hingga nanti
Saat kabut tebal telah menepis
terang di hati
Dan menghilangkan cinta dari mataku

Made by Shaila Galih Oktariza
Jakarta, 2004

Sunday, September 30, 2012

Nice New Quote

I just got a brand new quotes. You might not believe if I tell you from WHERE I got this quote.

I was just watching around at the Pottermore's Ravenclaw common room and then someone put on a quote that catch me. The quote sounds like this:

"DON'T CONFUSE YOUR PATH WITH YOUR DESTINATION; JUST BECAUSE IT'S STORMY, DOESN'T MEAN YOU AREN'T HEADED FOR SUN"

And I thought that quote is right. We always headed to the sun, no matter how much storm and hurricane we have through to it. At least, we have to remember how to DANCING IN THE RAIN :)

Welcome October...
Please be nice to me...
Have a nice day everybody :)

Tuesday, September 4, 2012

A Letter From Letter to Juliet



Nah... setelah liat judulnya udah tau deh ini tentang apa. Yup... tentang hal galau. jadi kalo nggak mau baca juga nggak apa-apa sih. Please leave quietly :D

Actually it's been ages since the last time I wrote something. And today I'm not write an original idea of me. I just Copy-and-paste it from the movie to my notes. It's from the lovely movie played by Amanda Seyfried. another romantic story brought from Italian. By the way, I want to share the lovely and inspiring letter that The secretary of Juliet wrote to Claire. It's a great letter.

Dear Claire...
'what' and 'if' are two words as non-threatening as words as can be. but put them together, side by side, and they have the power to haunt you for the rest of your life.

What if? What if? WHAT IF??

I don't know how your story ended, but if what you felt then was true love, then it's never too late. If it was true than... why wouldn't it be true now? You only need a courage to follow your heart.

I don't know what a love like Juliet's feels like,
a love to leave loved ones for,
a love to cross oceans for,
but I'd like to believe if I ever were to feel it, that I'd have the courage to seize it.

And, Claire, if you didn't , I hope one day that you will.

All my love,
Juliet.


Saturday, September 1, 2012

Sushi I(n) Love



Sebelumnya nggak pernah ada yang bilang sushi itu enak. Mereka cuma bilang “sushi terbuat dari ikan mentah” hingga saya berpikir dan menyimpulkan sendiri bahwa sushi pasti bau. Tapi kenyataannya nggak begitu. Setelah memberanikan diri menyantap sejumput nasi+ketan Jepang ber-topping-kan ikan mentah, saya berani merekomendasikan kalau Sushi adalah makanan kedua terenak di dunia setelah masakan ibu saya.
Waktu pertama kali saya mulai mencintai makanan ini, mencari restaurant yang menyediakan makanan ini dengan harga murah itu sulitnya sama seperti mahasiswa semester akhir yang sedang mencari topik untuk skripsi. Ada sih restauran sushi di tempat gaul saya sehari-hari. Tapi mahalnya bikin urut dada dan puasa sebulan setelah makan satu porsi sushi ukuran perut medium. Maklumi saja kalo sama perut perhitungan. Masih mental anak kosan.
Tapi entah inikah yang namanya sudah jodoh atau apa, suatu hari melihat sebuah restauran khusus menu sushi. Pertama makan di sana saya langsung jatuh cinta pada penataan dan interior restauran-nya. Sangat nyaman dan membuat saya betah berlama-lama makan atau sekedar memandangi tingkah laku orang-orang di sekitar saya.
Aneh? Memang. Tapi saya mendapatkan kesenangan sendiri dari memperhatikan orang lain. Kegiatan ini selalu membuat otak dan imajinasi saya bekerja. Berusaha memahami apa yang terjadi atau bahkan memikirkan apa yang kira-kira sedang dipikirkan oleh orang yang sedang saya perhatikan. Terkadang saat saya sedang asyik memperhatikan orang lain, saya suka lupa diri bahwa ada norma yang mengatakan kalau “memperhatikan orang secara terus-menerus adalah perbuatan yang tidak sopan”. Makanya tak jarang saya mendapatkan “serangan balik” berupa tatapan jutek atau digunjing sambil ditunjuk-tunjuk. Saya sering tertawa sendiri dalam hati. Itu adalah alarm bagi saya bahwa sikap saya sudah keterlaluan.
Hal lain yang saya sukai adalah hujan. Apa yang sangat saya sukai dari hujan adalah simfoni yang dihasilkan dari saling bersahutannya rintik-rintik hujan yang berlomba menyentuh bumi manusia. Itulah musik terindah yang pernah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Tugas kita sebagai makhluknya adalah duduk dan menikmati apa yang Ia berikan. Seperti saat ini.
Saya sedang berada di restauran sushi favorit saya, menikmati menu favorit saya sambil ditemani tetesan air hujan yang kembali menyirami bumi setelah berbulan-bulan pergi. Sebelumnya saya tidak menyangka akan mendapatkan nikmat ini. Kenikmatan ganda. Berbekal duduk di dekat jendela, saya memandangi tetesan air hujan yang menari-nari di atas jalan raya. Saya mengunyah salmon sushi saya dengan gigitan super pelan dan super hati-hati agar kenikmatan ini tak segera berakhir. Saat saya akhirnya harus memasukkan potongan sushi terakhir ke dalam mulut saya, seorang pelayan datang dan mengantarkan satu porsi lagi menu yang sama. Saya menatap sang pelayan dengan tatapan bingung namun pelayan itu membalas tatapan saya dengan sebuah senyum manis.
“Spesial untuk pelanggan setia.” Hanya itu yang terlontar dari mulut sang pelayan. Sebenarnya saya merasa sangat tersanjung dengan ucapan sang pelayan barusan. Apa saya semenarik perhatian itu hingga sang pelayan menyadari bahwa saya sangat sering menghabiskan waktu di tempatnya? Ketika saya menolehkan kepala ke arah dapur, seorang chef mengangguk sambil tersenyum pada saya. Sayapun membalas anggukan tersebut dengan mengangguk dan juga tak lupa tersenyum. Apakah semua karyawan di tempat ini sudah sangat hapal dengan wajah saya???
Tak lama setelah keheranan saya itu, seorang pelayan yang lain mendatangi tempat saya dan meletakkan sebuah gelas berisi ocha (teh hijau Jepang) hangat di meja saya. Kembali dengan wajah kebingungan saya menatap sang pelayan yang dibalas dengan senyuman ramah, persis seperti rekan sebelumnya.
“Special delivery dari chef kami, untuk pelanggan setia.” tambah sang pelayan sebelum meninggalkan meja saya. Saya menatap gelas ocha hangat itu sambil memproses apa yang baru saja dikatakan oleh sang pelayan. Saya memberanikan diri untuk menoleh ke arah dapur (lagi) dan kembali sebuah senyuman menyambut saya dari chef yang sama. Chef muda, yang selama saya perhatikan, sering bolak-balik dapur-meja kasir untuk mengecek sesuatu. Otak saya kembali berpikir, apa yang sedang terjadi di sini?
Saya berdoa dalam hati, semoga menu-menu gratis ini tidak diracun atau beri ramuan macam-macam. Sambil kembali menikmati sushi dan rintik air hujan, saya berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. Saat akhirnya perut saya sudah tidak mampu lagi menampung makanan atau minuman lain, saya mengangkat tangan untuk meminta bill dari makanan saya hari ini. Seorang pelayan yang melihat permintaan saya menghampiri meja kasir dan mempersiapkan bill yang saya minta. Selama menunggu bill saya datang, saya membereskan kertas coret-coretan, mp3 player dan earphone yang sejak tadi menemani suasana romantis saya dengan sang hujan.
Saat bill pesanan saya sampai di meja, saya menoleh dan sangat terkejut menemukan bahwa orang yang menghampiri saya untuk menyerahkan bill pesanan saya bukanlah pelayan yang biasa melayani saya, melainkan sang chef muda. Ia tersenyum sambil menyebutkan jumlah harga yang harus saya bayar hari itu. Jumlahnya tidak termasuk special delivery. Saya mengeluarkan selembar uang 50 ribuan dan menoleh pada sang chef muda.
“Terima kasih menu gratisnya.” ucap saya sebelum meletakkan uang tersebut pada tempat uang yang diletakkan sang chef muda di meja saya. “tapi jangan sering-sering. Nanti anda dipecat sama yang punya restauran.”
“Yang punya restaurant bilang boleh kok.” jawab sang chef muda. “sering-sering juga nggak apa-apa. Kan untuk pelanggan setia.”
“Tapi kalo sering-sering, nanti restaurannya bangkrut.” ucap saya sambil meletakkan uang saya. Chef muda itu mengambil tempat uangnya saat saya berkata, “kalo restaurannya tutup, saya nggak punya tempat nongkrong lagi dong?”
Chef muda itu menatap saya sebentar lalu tersenyum dan menunduk sebelum meninggalkan saya ke kasir. Saya mengambil tas saya dan menyampirkan tas saya di bahu sebelum berjalan menuju pintu keluar. Meja kasir berada di depan pintu keluar sehingga saat saya berjalan keluar, sang chef muda menghentikan saya untuk memberikan uang kembalian, yang menurut saya, jumlahnya tidak seberapa.
“Uang kembaliannya?” tanya sang chef muda.
“Nggak usah.” jawab saya sambil tersenyum, berusaha sopan. “biar restaurannya nggak bangkrut karena udah menraktir menu spesial.”
“Tapi besok dateng lagi kan?” tanya sang chef muda yang membuat saya bingung. Saya memperhatikan raut wajah lawan bicara saya dan segera menyadari apa yang sedang terjadi di sini.
“Asal nggak kejadian kaya tadi aja.” jawab saya. Chef muda itu tersenyum lalu mengangguk.
“Besok, saya yang traktir deh.” ucap sang chef muda. “biar restaurannya nggak bangkrut kan?” Saya tertawa kecil lalu mengangguk. Sang chef muda mengambil sesuatu dari meja kasir.
“Uang kembaliannya simpen aja.” ulang saya namun sang chef muda tersenyum lalu menyerahkan sebuah kertas bill. Kertas bill pesanan saya hari ini.
“Kabari saya kalo besok mau ke sini lagi.” ucapnya saat saya melihat sebuah nomer telepon tertulis di bawah bill tersebut. “biar saya bisa minta izin nggak masuk kerja dan nemenin anda makan.”
Saya menatap kertas bill itu dan mengangguk kecil. Jawaban itu adalah hal terakhir yang saya sampaikan pada sang chef muda sebelum benar-benar keluar dari restauran sushi tersebut. Saya melipat bill yang memuat nomer handphone sang chef muda. Penilaian saya selama ini ternyata tidak salah. Restauran ini memang tempat favorit saya.