Saat itu pukul 8:10
WIB. Saya memasuki sebuah kelas yang baru saja berisi beberapa orang mahasiswa.
Karena isi kelas yang masih minim, maka setiap kali pintu kelas terbuka, semua
mata pasti langsung tertuju pada arah penyebab suara. Saya menoleh ke arah dosen
saya dan pak dosen pun mengizinkan saya masuk ke dalam kelas. Saya melihat salah
seorang teman dekat saya dan segera menghampirinya dan mengambil tempat duduk
di sebelahnya.
"Baru mulai
ya?" tanya saya dengan suara berbisik pada teman yang duduk di sebelah.
Teman saya itu mengangguk dan kembali sibuk dengan alat tulis dan buku
catatannya. Saya segera melepas jaket dan mengeluarkan alat tulis serta buku
catatan. Tak lama, salah seorang mahasiswa maju ke depan dan memulai
presentasi. Oh… Langsung presentasi individual,
pikirku dalam hati.
"Apa sih senang
itu?" tiba-tiba sang mahasiswa memulai presentasinya dengan sebuah
pertanyaan. Saya berusaha menyimak dan tidak menyangka saat sang presentan
tiba-tiba menunjuk saya dan menanyakan sebuah pertanyaan.
"Apa hal yang
bisa membuat kamu senang?" tanyanya. Saya sempat terkejut dan diam selama
beberapa detik. Diamnya saya bukan karena tidak tahu, melainkan karena kaget
akan apa yang ia lakukan. Ia (dan mungkin seluruh isi kelas) menatap saya dan menunggu
saya menjawab.
"Ng… Bisa lulus
kuliah tepat waktu?" jawab saya dengan nada tidak yakin. Saya bisa melihat
ia segaris senyum di bibirnya dan kemudian melanjutkan (masih dengan menatap
saya).
"Lalu apa
lagi?" tanyanya. Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Iapun menambahkan.
"kira-kira apalagi yang bisa bikin kamu senang?"
"Ng… Kumpul
sama temen-temen." jawab saya. Akhirnya ia selesai
"menginterogasi" saya dan benar-benar memulai presentasinya. Saya
memperhatikan presentasi yang ia bawakan selama 10 detik sebelum akhirnya
berbisik pada teman di samping saya.
"Itu yang
presentasi namanya siapa?" bisik saya. Teman saya menoleh dengan tatapan
terkejut pada saya yang membuat saya (agak) malu.
"Kamu nggak
kenal?" tanya teman saya. Dengan polosnya saya menggeleng. "Itu
namanya Arby. Kalian kan udah sering sekelas. Masa nggak tau sih?"
*****
Sepanjang sisa
kuliah itu, saya memperhatikan Arby dengan seksama. Bukan karena terpesona
dengan wajah (yang menurut selera saya sih biasa aja), tapi lebih karena
takjub. Berdasarkan pengamatan Feli, teman yang duduk di sebelah saya, saya dan
Arby sudah tiga semester ini mengambil kelas bersama. Memang di fakultas kami,
dalam satu kelas bisa sampai 40 orang mahasiswa, tapi saya tidak merasa
familiar dengan wajahnya. Waktu awal ia bertanya pada saya, saya malahan
mengira dia adalah mahasiswa yang lebih senior dari saya.
"Untuk tugas
kelompok, daftar kelompoknya ada di koordinator kelas. Jangan lupa menyertakan
jurnal yang kalian bahas di lampiran makalahnya." Ucap sang dosen sebelum
akhirnya menutup kelas hari ini. Martha, koordinator kelas kami langsung berdiri
dan mengambil alih kelas untuk membacakan daftar kelompok yang telah disusun
oleh dosen kami.
"Kenapa sih
nggak bikin kelompok sendiri?" gerutu saya pelan. Saya bisa merasakan Feli
menoleh ke arah saya dan tersenyum. Tiba-tiba saya mendengar nama saya disebut
bersama dengan anggota kelompok yang lain.
"Amanda Hanita,
Arby Nurhadi, Dionysius Alvian, Desi Hardika." Ucap Martha yang membuat
saya spontan meoleh pada sang presentan tadi, namun ia sedang membereskan
laptop dan buku-bukunya di meja. "kalian membahas jurnal musik dan emosi
ya?"
"Tuh, Man! Liat
kan?" tiba-tiba Feli mencolek saya sambil tersenyum. "dosennya tau
harus dibikinin kelompok. Biar mahasiswa yang udah satu setengah tahun sekelas
bareng bisa kenalan dan kerja bareng."
"Apaan
sih?" protes saya sambil menggendong tas punggung saya dan bersiap untuk
keluar kelas, karena teman sekelompok saya yang lain hari ini tidak masuk.
Namun ketika saya baru saja sampai di depan pintu kelas, seseorang memanggil
nama saya yang tentu saja membuat saya menoleh.
"Manda!"
panggil sang presentan, sekaligus juga teman sekelompok saya, Arby Nurhadi.
"Kapan mau ngomongin soal jurnalnya?"
"Um… gw mau aja
ngomongin sekarang. Tapi 10 menit lagi gw ada kelas." jawabku agak
menyesal. Iapun terlihat agak kecewa mendengar jawabanku.
"Kalo gitu,
minta nomer hapenya dong. Ntar gw kabarin deh kalo gw udah dapet
jurnalnya." ucapnya sambil mengeluarkan handphone dan bersiap menyimpan
nomor handphone saya. Sayapun membacakan nomor handphone saya padanya. Setelah
bertukar nomor handphone, saya bersiap untuk pergi ke kelas selanjutnya.
"Nanti siang,
setelah kelas, gw kabarin deh kalo mau ketemuan." ucapku sebelum pergi. Ia
mengangguk sambil tersenyum, Entah tersenyum karena apa. "Gw duluan ya.
Harus ke gedung sebelah."
"Lw tau nggak
hal yang bikin gw seneng?" tanya Arby yang membuatku tidak jadi melangkah
pergi dan berbalik lagi untuk menatapnya. Ia mengacungkan handphone-nya.
"setelah tiga semester sekelas sama lw, akhirnya gw bisa dapet nomer hape
dan juga satu kelompok sama lw."