Saturday, September 1, 2012

Sushi I(n) Love



Sebelumnya nggak pernah ada yang bilang sushi itu enak. Mereka cuma bilang “sushi terbuat dari ikan mentah” hingga saya berpikir dan menyimpulkan sendiri bahwa sushi pasti bau. Tapi kenyataannya nggak begitu. Setelah memberanikan diri menyantap sejumput nasi+ketan Jepang ber-topping-kan ikan mentah, saya berani merekomendasikan kalau Sushi adalah makanan kedua terenak di dunia setelah masakan ibu saya.
Waktu pertama kali saya mulai mencintai makanan ini, mencari restaurant yang menyediakan makanan ini dengan harga murah itu sulitnya sama seperti mahasiswa semester akhir yang sedang mencari topik untuk skripsi. Ada sih restauran sushi di tempat gaul saya sehari-hari. Tapi mahalnya bikin urut dada dan puasa sebulan setelah makan satu porsi sushi ukuran perut medium. Maklumi saja kalo sama perut perhitungan. Masih mental anak kosan.
Tapi entah inikah yang namanya sudah jodoh atau apa, suatu hari melihat sebuah restauran khusus menu sushi. Pertama makan di sana saya langsung jatuh cinta pada penataan dan interior restauran-nya. Sangat nyaman dan membuat saya betah berlama-lama makan atau sekedar memandangi tingkah laku orang-orang di sekitar saya.
Aneh? Memang. Tapi saya mendapatkan kesenangan sendiri dari memperhatikan orang lain. Kegiatan ini selalu membuat otak dan imajinasi saya bekerja. Berusaha memahami apa yang terjadi atau bahkan memikirkan apa yang kira-kira sedang dipikirkan oleh orang yang sedang saya perhatikan. Terkadang saat saya sedang asyik memperhatikan orang lain, saya suka lupa diri bahwa ada norma yang mengatakan kalau “memperhatikan orang secara terus-menerus adalah perbuatan yang tidak sopan”. Makanya tak jarang saya mendapatkan “serangan balik” berupa tatapan jutek atau digunjing sambil ditunjuk-tunjuk. Saya sering tertawa sendiri dalam hati. Itu adalah alarm bagi saya bahwa sikap saya sudah keterlaluan.
Hal lain yang saya sukai adalah hujan. Apa yang sangat saya sukai dari hujan adalah simfoni yang dihasilkan dari saling bersahutannya rintik-rintik hujan yang berlomba menyentuh bumi manusia. Itulah musik terindah yang pernah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Tugas kita sebagai makhluknya adalah duduk dan menikmati apa yang Ia berikan. Seperti saat ini.
Saya sedang berada di restauran sushi favorit saya, menikmati menu favorit saya sambil ditemani tetesan air hujan yang kembali menyirami bumi setelah berbulan-bulan pergi. Sebelumnya saya tidak menyangka akan mendapatkan nikmat ini. Kenikmatan ganda. Berbekal duduk di dekat jendela, saya memandangi tetesan air hujan yang menari-nari di atas jalan raya. Saya mengunyah salmon sushi saya dengan gigitan super pelan dan super hati-hati agar kenikmatan ini tak segera berakhir. Saat saya akhirnya harus memasukkan potongan sushi terakhir ke dalam mulut saya, seorang pelayan datang dan mengantarkan satu porsi lagi menu yang sama. Saya menatap sang pelayan dengan tatapan bingung namun pelayan itu membalas tatapan saya dengan sebuah senyum manis.
“Spesial untuk pelanggan setia.” Hanya itu yang terlontar dari mulut sang pelayan. Sebenarnya saya merasa sangat tersanjung dengan ucapan sang pelayan barusan. Apa saya semenarik perhatian itu hingga sang pelayan menyadari bahwa saya sangat sering menghabiskan waktu di tempatnya? Ketika saya menolehkan kepala ke arah dapur, seorang chef mengangguk sambil tersenyum pada saya. Sayapun membalas anggukan tersebut dengan mengangguk dan juga tak lupa tersenyum. Apakah semua karyawan di tempat ini sudah sangat hapal dengan wajah saya???
Tak lama setelah keheranan saya itu, seorang pelayan yang lain mendatangi tempat saya dan meletakkan sebuah gelas berisi ocha (teh hijau Jepang) hangat di meja saya. Kembali dengan wajah kebingungan saya menatap sang pelayan yang dibalas dengan senyuman ramah, persis seperti rekan sebelumnya.
“Special delivery dari chef kami, untuk pelanggan setia.” tambah sang pelayan sebelum meninggalkan meja saya. Saya menatap gelas ocha hangat itu sambil memproses apa yang baru saja dikatakan oleh sang pelayan. Saya memberanikan diri untuk menoleh ke arah dapur (lagi) dan kembali sebuah senyuman menyambut saya dari chef yang sama. Chef muda, yang selama saya perhatikan, sering bolak-balik dapur-meja kasir untuk mengecek sesuatu. Otak saya kembali berpikir, apa yang sedang terjadi di sini?
Saya berdoa dalam hati, semoga menu-menu gratis ini tidak diracun atau beri ramuan macam-macam. Sambil kembali menikmati sushi dan rintik air hujan, saya berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. Saat akhirnya perut saya sudah tidak mampu lagi menampung makanan atau minuman lain, saya mengangkat tangan untuk meminta bill dari makanan saya hari ini. Seorang pelayan yang melihat permintaan saya menghampiri meja kasir dan mempersiapkan bill yang saya minta. Selama menunggu bill saya datang, saya membereskan kertas coret-coretan, mp3 player dan earphone yang sejak tadi menemani suasana romantis saya dengan sang hujan.
Saat bill pesanan saya sampai di meja, saya menoleh dan sangat terkejut menemukan bahwa orang yang menghampiri saya untuk menyerahkan bill pesanan saya bukanlah pelayan yang biasa melayani saya, melainkan sang chef muda. Ia tersenyum sambil menyebutkan jumlah harga yang harus saya bayar hari itu. Jumlahnya tidak termasuk special delivery. Saya mengeluarkan selembar uang 50 ribuan dan menoleh pada sang chef muda.
“Terima kasih menu gratisnya.” ucap saya sebelum meletakkan uang tersebut pada tempat uang yang diletakkan sang chef muda di meja saya. “tapi jangan sering-sering. Nanti anda dipecat sama yang punya restauran.”
“Yang punya restaurant bilang boleh kok.” jawab sang chef muda. “sering-sering juga nggak apa-apa. Kan untuk pelanggan setia.”
“Tapi kalo sering-sering, nanti restaurannya bangkrut.” ucap saya sambil meletakkan uang saya. Chef muda itu mengambil tempat uangnya saat saya berkata, “kalo restaurannya tutup, saya nggak punya tempat nongkrong lagi dong?”
Chef muda itu menatap saya sebentar lalu tersenyum dan menunduk sebelum meninggalkan saya ke kasir. Saya mengambil tas saya dan menyampirkan tas saya di bahu sebelum berjalan menuju pintu keluar. Meja kasir berada di depan pintu keluar sehingga saat saya berjalan keluar, sang chef muda menghentikan saya untuk memberikan uang kembalian, yang menurut saya, jumlahnya tidak seberapa.
“Uang kembaliannya?” tanya sang chef muda.
“Nggak usah.” jawab saya sambil tersenyum, berusaha sopan. “biar restaurannya nggak bangkrut karena udah menraktir menu spesial.”
“Tapi besok dateng lagi kan?” tanya sang chef muda yang membuat saya bingung. Saya memperhatikan raut wajah lawan bicara saya dan segera menyadari apa yang sedang terjadi di sini.
“Asal nggak kejadian kaya tadi aja.” jawab saya. Chef muda itu tersenyum lalu mengangguk.
“Besok, saya yang traktir deh.” ucap sang chef muda. “biar restaurannya nggak bangkrut kan?” Saya tertawa kecil lalu mengangguk. Sang chef muda mengambil sesuatu dari meja kasir.
“Uang kembaliannya simpen aja.” ulang saya namun sang chef muda tersenyum lalu menyerahkan sebuah kertas bill. Kertas bill pesanan saya hari ini.
“Kabari saya kalo besok mau ke sini lagi.” ucapnya saat saya melihat sebuah nomer telepon tertulis di bawah bill tersebut. “biar saya bisa minta izin nggak masuk kerja dan nemenin anda makan.”
Saya menatap kertas bill itu dan mengangguk kecil. Jawaban itu adalah hal terakhir yang saya sampaikan pada sang chef muda sebelum benar-benar keluar dari restauran sushi tersebut. Saya melipat bill yang memuat nomer handphone sang chef muda. Penilaian saya selama ini ternyata tidak salah. Restauran ini memang tempat favorit saya.

No comments: